TEMPO.CO, Maumere - Usaha ekonomi kreatif Keripik Pisang Wailiti yang dirintis lima tahun lalu tak akan terjadi bila tak ada kepedulian Margareta Setia Rahayu, 50 tahun, terhadap ekonomi masyarakat Flores. Rumahnya yang berada di pinggir jalan besar kerap dilewati truk-truk besar yang mengangkut hasil bumi masyarakat Flores terutama pisang ke Jawa.
Ia berpikir beratus-ratus tandan pisang itu dibeli dari petani langsung dengan harga sangat murah. Satu tandan pisang dibeli dengan harga Rp 15-20 ribu. “Tapi kekayaannya diambil luar, jadi masyarakat Kota Maumere tetap gak dapat apa-apa,” ujar Margareta, salah satu peserta Komunitas Kreatif Bekraf – Tempo Institute di St. Camillus Social Center, Kota Maumere, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada Minggu, 16 September 2018. Kombet Kreatif diadakan Tempo Institute bekerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Baca: Susi, Pegiat Ekonomi Kreatif yang Sulap Sampah Jadi Wisata
Mantan pedagang barang-barang rohani itu kemudian memulai mencoba bagaimana mengolah pisang yang awet, sehat, dan bergizi. “Gagal berkali-kali, saya terus trial and error,” katanya. Ia pantang menyerah untuk mendapatkan rasa pada keripik pisang.
Hingga akhirnya ia bertemu seorang teman, seorang penyuluh di lapangan yang mengajarinya membuat bumbu tabor. “Tapi waktu saya coba, rasanya gatal di tenggorokan karena banyak menggunakan vetsin.” Margareta kembali mencoba membuat bumbu. “Saya ingin keripik pisang itu bisa aman dikonsumsi.”
Berbekal nekat, perempuan asal Surabaya ini membuat stiker merek keripik pisangnya. Ia lalu mengemasnya dan membawanya ke Kupang. Ada rasa bawang, manis, dan pedas. Tapi saat itu, ia merasa belum percaya diri lantaran rasa keripik pisangnya belum benar-benar enak dan teksturnya kurang kriuk.
Baca: Usaha Ekonomi Kreatif Anak SMP yang Memanfaatkan Perca Kain Tenun
Margareta kembali menjajal pengolahan rasa pisang yang enak. Ia kemudian memberanikan diri menjualnya dalam bungkus-bungkus kecil dengan harga Rp 1000-an dan dijual di kios-kios kecil dekat sekolah. “Satu bulan dapatnya Rp 200 ribu saja itupun banyak yang retur karena apek kalau sudah sebulan,” ujarnya.
Suatu hari, ia mendapatkan informasi ada mesin penirisan minyak yang bisa membuat makanan lebih awet, kering, dan tetap kriuk. “Harganya mahal banget Rp 4 juta.” Ia tetap membeli lantaran merasakan manfaatnya. “Dengan bantuan mesin ini, Keripik Pisang Wailiti ini bisa bertahan sampai empat bulan tetap kriuk, rasa tidak berubah, dan tetap aman dikonsumsi,” ucapnya.
Setelah berbagai percobaan dilewati, Margareta mulai berani memasarkan ke toko-toko dan datang ke dinas-dinas. Tapi salah seorang yang bertugas di Satuan Kerja Perangkat Dinas justru mencibir upayanya. “Mana mungkin bisa berkembang di Maumere. Beli beras saja susah kok mau beli keripik pisang.”
Baca: Pegiat Ekonomi Kreatif, Buatlah Branding yang Berakar Lokal
Margareta bergeming. Ia tetap memasarkan keripik pisangnya. Varian rasa keripik pun mulai bertambah menjadi cokelat. “Saya akan coba lagi rasa buah-buahan seperti stroberi,” ujarnya. Saat ini, kata Margareta, dari keuntungan Rp 200 ribu, ia bisa mendapatkan laba sekitar Rp 11 juta per bulan dan memperkerjakan tiga orang karyawan. “Kalau ada pesanan membeludak, saya minta bantuan masyarakat untuk membantu pengupasan pisang dan pengemasan.”
Tak sekadar mencari keuntungan. Margareta juga menyerahkan limbah kulit pisang kepada warga sekitar untuk dijadikan pangan babi. “Kandungan kulit pisang lebih lengkap ketimbang batangnya (bonggol),” ujarnya.
Bahkan minyak bekas penggorengan, ia jual kembali. “Penggorengan keripik ini hanya dua kali. Saya tawarkan di Facebook siapa yang mau minyak jelantah, ternyata banyak yang berminat.” Satu jeriken isi 5 liter minyak jelantah dijualnya dengan Rp 20 ribu.