TEMPO.CO, Maumere - Pegiat ekonomi kreatif bisa menyulap sesuatu yang tak bernilai dan menjadi obyek kreativitas berharga kinclong. Limpahan sampah yang dibawa angin musim barat pada Desember hingga Maret di Perairan Teluk Maumere, menjadi berkat bagi Susilowati dan orang-orang di sekitarnya. Limpahan sampah ribuan kilogram itu bisa dikelola menjadi usaha wisata sampah.
Siapa yang terpikir sampah bisa menjadi wisata yang memikat para turis asing? Ide brilian itu datang berkat kepedulian Susi, 51 tahun, pada bumi. Ibu empat anak bersuamikan orang Belanda ini terusik dengan banyaknya sampah di sekitar rumahnya, di pinggir Pantai Paris, Maumere, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang dikembalikan oleh laut.
“Itu memang cara laut menolak sampah yang dibuang sembarangan oleh masyarakat lalu dibuang di darat,” katanya terkekeh, di sela-sela pendampingan Komunitas Kreatif Bekraf - Tempo Institute atau Kombet Kreatif di Aula St. Camillus Social Centre, Maumere, Nusa Tenggara Timur, Jumat, 14 September 2018. Kombet Kreatif ini diadakan oleh Tempo Institute bekerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Sejak empat tahun lalu, ia mengajak para turis asing, sebagian menginap di homestay kecilnya, untuk bersama-sama memungut sampah. “Tiap Hari Minggu, para turis ini berangkat dari rumah saya dengan menaiki angkot, lalu menyisir sampah-sampah di pinggir pantai,” katanya. “Pulang-pulang, mereka bisa tiduran di atas karung-karung sampah itu karena kelelahan.” Tiap pekan, pekerjaan memungut sampah itu bisa menghasilkan 17-20 karung sampah.
Sampah-sampah yang dibawa pulang itu selanjutnya ditempatkan di bank sampah yang didirikan Susi pada 14 Februari 2014. “Biasanya, saat merayakan Hari Valentine, kita memberikan hadiah yang bungkusnya hanya jadi sampah,” tuturnya dengan mata berbinar. Ia, suami, dan anak bungsunya sepakat memilih tanggal itu sebagai hari pendirian bank sampah.
Sampah kemudian dipilah oleh anak-anak di 17 sekolah yang mengikuti program School Working Holiday. Mereka membentuk tim-tim kecil. “Tiap berapa kilogram, saya berikan ke tim itu uang lelah Rp 1000.” Sampah yang sudah tidak bisa dimanfaatkan selanjutnya dibuang di Tempat Pembuangan Akhir.
Ia kemudian memberdayakan tiga orang difabel dan komunitas-komunitas yang dibinanya untuk mengkreasikan sampah-sampah ‘pilihan’ itu. Dari bekas bungkus kopi sachet, sampah itu bisa disulap menjadi tas-tas cantik. Ia menunjukkan tas tangan cokelat miliknya. “Tas ini dijual satunya Rp 100 ribu,” katanya. Sebagian disulap menjadi map plastik, tempat sampah, keranjang belanja, dompet, dan lain-lain. Adapun sampah organik dimanfaatkan menjadi pupuk sampah.
Saat ini, dari usaha kreatif yang dikelola Susi, mulai dari menginap sampai berwisata memungut sampah itu menghasilkan omset sekitar Rp 30 juta per bulan. Yang lebih mengharukan, difabel yang tinggal bersamanya dan kini mengajari kerajinan dari sampah itu bertemu Presiden Jokowi saat datang di Kupang, Nusa Tenggara Timur, dua tahun lalu. "Usaha ekonomi kreatif ini membawa berkat untuk banyak orang," katanya.