TEMPO.CO, Maumere - Usaha ekonomi kreatif memang tak kenal usia. Dari yang serius untuk mata pencaharian utama sampai sekadar mengisi waktu luang belajar atau kegiatan di hari tua, kegiatan ekonomi kreatif bisa dilakukan. Terkadang, dari hobi, bisa memunculkan kreasi yang bernilai.
Kegiatan ini pula yang dilakukan oleh Filologus Olimpas Willem Sing, 14 tahun, pelajar kelas IX SMP PGRI 1 Egon, Waigete, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ia menggambar motif seperti batik, lalu di beberapa gambar dilekatkan guntingan perca kain tenun bekas limbah penjahit. Kebetulan, menggambar adalah hobinya sejak kecil.
“Motifnya bisa kreasi sendiri, bisa dari lihat di Google, atau dapat masukan dari teman-teman dan Bu Sherly,” kata dia di sela-sela Pendampingan Komunitas Kreatif Bekraf – Tempo Institute di St. Camillus Social Centre, Maumere, Kabupaten Sikka, NTT, Sabtu, 15 September 2018. Ia adalah peserta termuda dari total 42 yang mengikuti Kombet Kreatif yang difasilitasi oleh Tempo Institute dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Sherly, yang disebut Willem, adalah pemilik toko souvenir di Maumere yang memperkenalkannya pada berbagai kerajinan dengan memanfaatkan barang-barang bekas. Willem mulai belajar di kamar workshop Sherly sejak April lalu, saat mengikuti ibunya, Adriana Emi Sayati Perang, guru sekolah dasar membuat souvenir. “Saya ditanya Bu Sherly, apakah kamu mau belajar.”
Willem menuturkan, ia mulai belajar ekonomi kreatif pada Sherly untuk membuat lukisan dengan perca kain tenun ini sejak April lalu. Kebetulan, pada bulan yang sama, Sherly hendak mengikuti pameran di Kupang. Beberapa lukisan Willem diikutkan. “Dua lukisan saya dibeli oleh ibu direktur bank,” ujarnya riang. Satu lukisan dibeli dengan Rp 300 ribu. “Uangnya buat beli sepatu sekolah,” ujarnya.
Anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Soleman Sing, tukang ojek dan Adriana ini senang bukan kepalang bisa mendapatkan tambahan uang saku dari tangannya sendiri. Ia bersemangat berkreasi membuat lukisan dari kain perca tenun itu. “Lumayan, sehari bisa bikin satu setelah belajar,” kata Willem. Saat ini, kata Willem, ia tengah berlatih membuat gambar tiga dimensi.
Willem mengaku tak ingin membuang waktu. Jika bosan menggambar, ia bersepeda yang dirakitnya sendiri. “Sebulan saya merakit sepeda,” kata anak bertubuh kecil yang bercita-cita menjadi pembalap sepeda itu. Ibunya yang duduk di sampingnya tersenyum bangga. “Dia sudah dapat beasiswa sekolah di SMA di Maumere, berkat prestasinya ini,” katanya.