TEMPO.CO, Jakarta -Di era saat ini mengembangkan riset, relevan dengan perkembangan masyarakat, bisnis, dan industri. Menurut Sangkot Marzuki, pendiri lembaga penelitian Eijkman, riset merupakan satu upaya menjawab masalah utama yang dihadapi bangsa.
Temuan riset menurutnya juga harus kerap ditantang dan diuji guna memajukan ilmu pengetahuan. “Ilmuwan kita menyadari bahwa arsitektur ilmu pengetahuan dunia berubah. Cara kita mengerjakan sains saat ini dengan 25 tahun lalu itu sangat berbeda. Arsitektur sains dunia berubah,” tutur Sangkot dalam seminar Meet Young Scientist, di gelaran Tempo Media Week 2019.
Ia melanjutkan, kini spesialisasi antar keilmuan makin menyempit, namun batas disiplin ilmu pengetahuan kian kabur. Sehingga lahirlah berbagai bidang keilmuan baru dan makin maraknya gerakan lintas disiplin untuk menjawab tantangan di masyarakat. “Tantangan dalam sains kini berubah seraya mempengaruhi intelektualitas, sosial, dan budaya. Sementara, Indonesia masih bergelut dengan rendahnya budaya ilmiah.”
Di tengah perkembangan dan perubahan arsitektur sains dunia, Sangkot menyoroti adanya kelemahan dalam ekosistem (riset) Indonesia. Di antaranya, staf pengajar rata-rata lulusan dari kampus yang sama untuk jenjang S2 dan S3, bahkan mereka kerap mengajar di kampus yang sama. Pdahal menurut Sangkot, dunia internasional memiliki tingkat mobilitas sangat penting memberikan eksposur ke lingkungan kerja berbeda dengan budaya yang berbeda. “Tempat kita share pengalaman dan teknologi, di situlah kita membangun network,” ujar Sangkot.
Sangkot mengutip Louis Pasteur, menyoal pemaknaan sains yang menurutnya tidak mengenal negara, karena pengetahuan adalah milik umat manusia dan merupakan obor yang menerangi dunia.