TEMPO.CO, Jakarta - Teknologi blockchain telah berhasil membantu 11 ribu petani Indonesia mendapatkan kredit dan asuransi pertanian. Sudah lebih dari 10 persen dari petani yang terdaftar telah melakukan simpan pinjam dengan pihak perbankan.
“Buat mereka, gak kebayang bisa dapat pinjaman di bank Rp 500 ribu untuk modal kerja bertani,” kata Regi Wahyu, Founder dan CEO Hara, perusahaan yang melakukan upaya crowdsourcing dalam pencatatan data pertanian Indonesia saat memaparkan diskusi Blockchain, Aset Data Digital dan Masa Depan Dunia dalam peluncuran #KelasTanpaBatas Tempo Media Week 2018 Palmerah Edition, di Gedung Tempo Jalan Palmerah Barat Jakarta, Jumat, 14 Desember 2018.
Regi menuturkan, teknologi blockchain adalah sistem pencatatan di sebuah jurnal yang terbuka. “Jika dianalogikan pada akuntansi, semua transaksi dicatat. Jurnal akuntansi tidak bisa dihapus, tapi kalo ada perbaikan, ada jurnal perbaikan,” ujarnya. Catatan ini tak bisa dihapus lantaran menggunakan teknologi kriptografi yaitu dasar teknologi enkripsi.
Regi menuturkan, HARA memfokuskan pada pencatatan data petani lantaran secara umum pergerakan data di Indonesia masih belum terang benderang. “Tanah, kependudukan, dan segala macam itu masih gelap, dan terutama pertanian.” Setelah mengamati persoalan itu, ia kemudian tergerak untuk memfokuskan kepada masalah pertanian, yang berdampak riil dalam kehidupan. “Kita tahu sustainable pangan masih jadi masalah di Indonesia,” katanya.
Menurut Regi, saat memulai usaha ini pada Agustus lalu, ia sulit mendapatkan kepercayaan dari para petani dan lingkungan di sekitarnya. Mereka menganggap upaya ini hanya akal-akalan. Padahal, “selama mereka bisa menggunakan ponsel, punya niat jadi pengusaha, bisa jadi agripreneur.”
Baca Juga:
Metodenya, seperti halnya Go-JEK, ia mengajak para agen untuk menjadi mitra. Para agenlah yang akan melakukan pencatatan. “Awalnya 30 orang yang ikut tersisa 5 orang, bertambah berkurang lagi. Sekarang ada 600 agen,” katanya.
Para agen itu bertugas mendata dan membantu petani agar memperoleh pinjaman, bisa menjual hasil produksi pertanian saat panen dan membantu petani. “Para agen ini adalah agripreneur, pengepul modern.”
Regi mengatakan tak selamanya pengepul itu menjerat petani. Selama beberapa pekan ia tinggal di desa, ia menyaksikan bagaimana petani dan tengkulak itu berhubungan amat erat. “Saat ada kematian, yang dihubungi pertama itu tengkulak bukan kepala desa itu. Mereka beranggapan, pengepul yang akan membantu mereka seterusnya.”
Pengepul dalam versi modern ini yang menjadi mitra HARA, akan dilatih untuk terus mengembangkan diri sehingga menjadi agriprenuer. “Petani pun setelah istirahat berladang, bisa menjadi agen.” HARA, kata Regi, akan menggunakan data-data petani untuk mencari pinjaman ke bank dan kredit usaha rakyat. Mereka dilatih untuk berbisnis. “Startup dengan teknologi blockchain ini memang membantu petani agar belajar berbisnis dan tidak lagi menunggu bantuan,” ujarnya.
Ia mengaku saat memulai usaha, hal yang pertama dilakukan adalah meminta izin dari pemerintah setempat untuk kulonuwun. “Kami katakan ini usaha mengajak petani berdikari tapi tidak menggunakan dana pemerintah.” Regi mengaku mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah setelah mengetahui bahwa upayanya justri membantuk percepatan proses pendataan secara online. “Kami meyakinkan bahwa sharing data aman dan ini adalah social movement yang harus didukung semua pihak.”