Di depan para penenun, Vivi mengusulkan agar mereka menggunakan pewarnaan alam seperti yang dilakukan para penenun tua di Rote dan Alor. Di Belu, mereka baru mengenal pewarnaan alam dengan lumpur dan daun indigo. “Kalau pakai warna alam tidak akan luntur dan semakin lama semakin awet,” ujar Vivi.
Vivi menuturkan, Belu memiliki keunggulan geografis di banding daerah lain di Pulau Timor. “Belu berbatasan dengan Timor Tengah Utara, Timor Leste, dan ada empat suku sehingga sangat kaya akan motif dan teknik.”
Baca: Sempat Diancam, Pembuat Sasando di Kota Kupang Ini Tetap Berkarya
Sejak perempuan penenun itu mendapat pembinaan dari pemerintah daerah sekitar dua setengah tahun lalu, kata Vivi, harga tais pun melonjak. “Yang baru bisa sampai Rp 6 juta kalau pengerjaannya sangat rumit. Kalau tenun yang dibikin nenek-nenek Belu harganya bisa sampai puluhan juta karena dibuat saat ia masih gadis dan bercerita,” ujarnya.
Eti Bisoi, 36 tahun pun mengakui, tenun telah menyelamatkan hidupnya. Setelah menikah muda pada 2002 lantaran tak bisa melanjutkan kuliah usai menamatkan bangku SMA, ia menenun bersama mertuanya untuk menopang ekonomi keluarganya. “Apalagi saya anak mantu tertua, harus belajar.”
Ia memulai menenun dengan menggunakan benang lantaran gampang diperoleh bahannya. “Sambil menenun, saya mengikuti dan mulai tahu proses pewarnaan benang,” tuturnya. Semula, mama mertua yang mengajarinya membuat warna alam seperti hitam menggunakan lumpur dan daun tinta. “Seterusnya, saya ikut pendampingan yang diadakan ibu Bupati, saya mulai total menggunakan warna alam.” Sekarang, kain tenun buatannya sudah dihargai mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 1 juta.