TEMPO.CO, Belu - Bekraf mengajak warga Belu agar memanfaatkan kekayaan budaya di kabupaten yang berbatasan dengan Timor Leste itu untuk usaha ekonomi kreatif. "Ekonomi kreatif adalah solusi kemandirian," kata Deputi Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah Endah Wahyu Sulistianti saat membuka Pendampingan Komunitas Kreatif Bekraf - Tempo Institute atau Kombet Kreatif di Rumah Estribi, Minggu, 7 Oktober 2018.
Tahun lalu, kata Endah, saat perhelatan Festival Fulan Fehan yang diikuti 6.000 penari, masing-masing mengenakan tenun dengan motif yang unik. "Tidak ada satu pun tenun yang sama dengan yang lain. Artinya, ada 6.000 motif tenun, 6.000 warna, semuanya unik."
Baca: Berjejaring, Kiat Jitu Ciptakan Pasar Ekonomi Kreatif
Menurut Endah, pekerjaan ekonomi kreatif ini tidak harus melibatkan banyak orang. "Bisa dilakukan sendirian, dari rumah pun bisa melakukan pekerjaan ekonomi kreatif," katanya.
Ia menjelaskan, ekonomi kreatif itu merupakan sektor yang paling inklusif. Siapa pun bisa melakukan, tidak memandang laki-laki dan perempuan, berpendidikan tinggi atau rendah, tidak melihat difabel atau bukan, yang penting bisa berkarya dan membuat produk, maka dia sudah termasuk pelaku ekonomi kreatif.
Ia mengatakan Presiden Jokowi sudah memerintahkan agar tiap kementerian atau lembaga setingkat bekerja sampai di perbatasan. Tahun lalu, kata Endah, Bekraf menemukan banyak pelaku usaha ekonomi kreatif di Belu yang membuat produk unggulan, tapi tidak tahu mempresentasikan dengan baik."Semoga dari Kombet Kreatif ini, mama-mama dan nona-nona bisa membuat storytelling dan menjual produk ekonomi kreatifnya di media sosial," tuturnya.
Baca: Adu Ide Kreatif Merebut Pasar
Bupati Belu Willybrodus Lay berharap warganya bisa menangkap peluang. Willy mencontohkan, seragam sekolah yang dipakai pelajar Belu kebanyakan berasal dari satu pabrikan saja. "Kenapa ini tidak melihat peluang. Kita tidak pernah berpikir tentang peluang bisnis," ujarnya.
Sebenarnya, kata Willy, banyak pelaku ekonomi kreatif di Belu. "Tapi sekadar bikin jual, buat lagi lalu jual lagi, gak berpikir tentang pasar," katanya. "Seharusnya yang kita lakukan bukan membuat satu produk tapi memikirkan bagaimana memasarkan."
Kepala Dinas Pariwisata Belu Johannes Andes Prihatin mengajak para pegiat ekonomi kreatif di Belu memanfaatkan kegiatan Kombet Kreatif ini untuk mendapatkan ilmu bagaimana membranding dan membuat storytelling produk mereka. Ia mencontohkan, saat ini di Jakarta, makanan yang dikemas dengan daun harganya dijual dua kali lipat dari yang disajikan di piring. "Cara pengemasan dan metode penjualannya benar-benar dipikirkan."
Baca: Manfaat Storytelling Bagi Penjualan Produk Ekonomi Kreatif
Direktur Eksekutif Tempo Institute Mardiyah Chamim mengatakan hampir semua daerah di Indonesia mempunyai anyaman, berbahan rotan, daun lontar, juga bambu. Ia pun menunjukkan tempat sirih di Atambua, Belu, NTT. Ada beragam motif dan semua cantik. "Harganya pun ramah di kantong, Rp 15-20 ribu perak saja, sudah bisa dipakai untuk menaruh ponsel, dompet uang receh, tempat kartu nama, atau tempat menaruh berlian.
Mardiyah menambahkan, ia mendengar ada daerah yang melarang penggunaan tas plastik di pasar dan toko. "Jika semua pemerintah daerah progresif melarang tas plastik di pasar dan toko, maka berbagai produk anyaman seperti ini akan meningkat. Tentu ukuran dan motif bisa beragam, sesuai kebutuhan," katanya. Ia berharap peserta Kombet Kreatif bisa berkolaborasi membuat produk ekonomi kreatif yang bernilai daya jual tinggi.
Kombet Kreatif adalah kegiatan pendampingan kepada para pelaku ekonomi kreatif yang diadakan oleh Tempo Institute dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Ada lawatan 12 kota dalam kegiatan ini, yakni Padang, Surabaya, Karangasem, Maumere, Kendari, Malang, Bojonegoro, Bandung Barat, Singkawang, Belu, Kupang, dan Merauke. Dalam pendampingan ini, peserta akan mendapatkan materi inspiratif dari para pegiat ekonomi kreatif, belajar membuatbranding, dan praktik membuat storytelling yang memikat dan menambah nilai jual produk ekonomi kreatif mereka.