TEMPO.CO, Singkawang - Salah satu cara mereguk rupiah dalam menjual produk kreatif adalah dengan storytelling atau berkisah. Makin kuat cerita di balik sebuah produk, makin besar kemungkinan produk tersebut diburu konsumen.
Sebuah kain hitam berukuran 1,5 x 2 meter dibentangkan. Lukisan dengan cat dominan merah dan putih tergambar di atasnya. “Ini punya filosofi tertentu. Bikinnya satu tahun, gambarnya mempunyai arti kehidupan manusia dari lahir hingga kematian,” ujar Priska Yeniriatno, 30tahun, pemilik galeri Singkawang Kite, 5 Oktober 2018.
Baca: Cah Angong Sulap Biji Secang Jadi Kopi dan Libatkan Anak Muda
Priska merupakan salah satu peserta Kombet Kreatif yang dihelat Tempo Institute dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Batik tulis milik Priska tak melulu lukisan dengan filosofi hidup. Dia juga membatik motif anggrek khas Kota Singkawang. Anggrek Dendrobium Singkawangense ini hanya ada di Singkawang. Pamornya cenderung tenggelam dengan Anggrek Hitam (Coelogyne Pandurata), yang juga khas Kalimantan Barat.
Walau status konservasinya belum jelas, namun keberadaannya sudah jarang ditemukan. Seiring dengan lajunya deforestasi di Kalimantan Barat. Kisah anggrek Singkawang ini menjadi salah satu daya tarik pembeli kain batik Priska. Berbagai pameran internasional yang diikutinya, karyanya selalu diminati karena mempunyai kisah tersendiri.
Baca: Bekraf Ajak Pegiat Ekonomi Kreatif Belajar Storytelling
Di sudut lain, Siti Ecika tengah meramu di mangkok plastik. Ada mie berwarna pucat, seukuran lidi di dalamnya. Kecambah ditambahkan dengan taburan kacang dan ikan teri asin di atasnya. Harum kuah sop bening menghambur di udara.
“Ini Namanya mie asin. Khas Singkawang,” ucapnya. Mie ini ternyata mempunyai kisah tersendiri. Mie ini sebenarnya merupakan makanan warga Tionghoa. Dikenal juga dengan nama Mie Sua. Sebenarnya, mie ini merupakan makanan wajib ketika warga Tionghoa merayakan Imlek. Harapannya, adalah setiap yang memakan mie ini akan Panjang umur. Makanya, mie ini juga dikenal dengan sebutan mie Panjang umur.
Baca: Bekraf Satukan Pegiat Ekonomi Kreatif Bandung untuk Berkolaborasi
Di Singkawang, ada sebuah pabrik yang memproduksi mie tersebut. Sudah beroperasi sejak tahun 1950 di Jalan Kridasana. Mesinnya pun masih mesin lama. “Dengan pelatihan ini, saya baru tahu bahwa menggali cerita soal produk bisa memberikan nilai tersendiri dari produk tersebut,” katanya.
Gali Dengan Indera
Felencia Hutabarat, wakil Deputi Hubungan Internasional Indonesia Creative Cities Network, membagikan kisahnya. Salah satu kisahnya mengenai Burgerkill, sebuah band metalcore asal Bandung, yang berdiri pada tahun 1995.
“Dari sebuah kelompok musik, mereka membuat diversifikasi produk dengan kaos, souvenir, studio rekaman dan video,” katanya.
Namun, capaian yang didapat Burgerkil ini tidak didapat secara serta merta. Burgerkill butuh 15 tahun untuk bisa mengembangkan produknya. Elen, panggilan akrabnya, menyatakan tantangan banyak komunitas kreatif untuk berkembang adalah berproses. “Jangan ingin cepat suskse, sehingga melewatkan kesempatan melakukan refleksi,” katanya.
Refleksi merupakan salah satu hal yang mutlak dilakukan pebisnis untuk menelaah kendala, tantangan bahkan potensi usaha mereka. Elen mencontohkan banyaknya startup digital yang dibuat, namun hanya tiga persen yang berhasil. Salah satu masalahnya adalah, ketika gagal mereka kemudian membuat usaha lain lagi, tanpa sempat merefleksi kegagalan mereka.
Baca: Diminta Pulang Ibunya, Unun Kini Beralih Usaha Ekonomi Kreatif
Salah satu cara untuk menjual produk kretif, apapun bentuknya adalah dengan berkisah. “Dalam setiap produk, gunakan indera apa yang ingin diaktifkan, sehingga orang tertarik dengan produk yang kita pasarkan,” ujarnya.
Kisah dibalik sebuah produk menjadi salah satu daya tarik bagi konsumen.
Qaris Tajudin, wartawan Tempo, memberi contoh seorang tukang obat, yang merupakan pebisnis yang memanfaatkan cerita menarik untuk menarik pembeli. Orang-orang berkerumun, mendengarkan si penjual obat membeberkan kesaksian khasiat dari obat yang dijualnya.
“Film juga jadi salah satu daya tarik tersendiri dalam menjual produk. Pesan yang ditampilkan secara visual lebih bisa ditangkap konsumen,” katanya. Film Aruna dan Lidahnya, yang mengangkat kuliner-kuliner nusantara, membuat penonton penasaran untuk mencoba menu serupa. Salah satu setting pembuatan film tersebut dilakukan di Kota Singkawang.
Hal ini bisa jadi salah satu pijakan awal mempromosikan kuliner. Tukang obat adalah salah satu pebisnis yang memanfaatkan cerita untuk menarik pembeli. Sebuah film pun bisa memberikan inspirasi. Ada cerita dalam film itu yang membuat orang tertarik. Orang penasaran, tergerak, sehingga membeli. Informasi saja tidak bisa membuat orang tergerak.
Sebuah minuman, bisa dikisahkan dengan narasi yang menarik untuk dapat dijual dengan harga yang tinggi, lanjutnya. Kemampuan untuk menarasikan sebuah produk, merupakan salah satu kunci pemasaran untuk para pebisnis di berbagai platform.
Kegiatan pendampingan komunitas kreatif ini difasilitasi oleh Tempo Institute dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang akan berlangsung hingga Minggu, 7 Oktober 2018. Sekitar 40 pelaku ekonomi dan industri kreatif sangat antusias selama pelatihan berlangsung.
“Semua pemateri penyampaiannya asyik, sehingga kita benar-benar dapat terinspirasi. Terutama soal Burgerkill, band metal itu,” kata Multi Siahaan, seorang travel blogger di Singkawang.
Upaya melakukan diversifikasi produk membuat Multi tergerak untuk menuliskan beberapa kisah serupa di Kota Singkawang dalam blognya. Makin banyak yang membaca, makin banyak yang tergerak untuk pergi ke Singkawang.
ASEANTY PAHLEVI